INILAH.COM, Jakarta - Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dinilai terlalu berlebihan, pasalnya dalam UU tersebut mengatur pendaftaran bagi organisasi yang tidak berbadan hukum. Pendaftaran ini dilakukan dengan memberikan surat pemberian Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai lingkupnya.
“Rezim pendaftaran ini berlebihan dan justru berpeluang menciderai kebebasan berserikat dan berkumpul dalam penerapannya,” kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Eryanto Nugroho saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji materi UU Ormas di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/11/2013).
Dia menambahkan masuknya yayasan dalam pengertian Ormas juga dapat menimbulkan kerancuan dalam praktik yang berdampak besar. Sebab, badan hukum yayasan banyak digunakan oleh rumah sakit, kampus, berbagai lembaga pendidikan, kesehatan dan sosial.
“Adanya UU Ormas ini, apakah mereka kemudian menjadi Ormas, Akhirnya, organisasi mana yang masuk Ormas ditentukan sepihak oleh pemerintah.” ujarnya.
Karenanya, Eryanto menyarankan agar DPR dan pemerintah seharusnya mencabut UU Ormas dan mengembalikan pengaturan pada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum Perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan anggota).
Sebelumnya, uji materi UU tersebut dimohonkan oleh Pimpinan PP Muhammadiyah, mereka mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam UU Ormas yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), (2), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), Pasal 57 ayat (2), (3), Pasal 58, Pasal 59 ayat (1), (3) huruf a UU Ormas.
Menurut pemohon, pasal-pasal itu bertentangan dengan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945. Sebab, membatasi atau mengekang kebebasan berserikat dan berkumpul dengan dalih menciptakan ketertiban yang dibungkus melalui undang-undang yang bersifat represif dan mengandung nuansa birokratis. Pemohon meminta MK membatalkan 21 pasal tersebut.[bay]