Minggu, 02 April 2023
11 Ramadhan 1444

Flow: Bahagia Saat Lebaran

Kamis, 08 Ags 2013 - 00:09 WIB
Penulis : Syafiq Basri Assegaff
Syafiq Basri Assegaff

 

Lebaran ini berjuta orang gembira. Bukan saja karena bisa berkumpul dengan keluarga, melainkan karena merasa berhasil mengendalikan dirinya selama puasa Ramadan.

Lebaran ini berjuta orang merasa bahagia. Dalam psikologi positif, keadaan ketika di dalamnya orang merasakan kebahagiaan disebut sebagai “flow”.

Menurut tokoh psikologi positif Mihaly Csikszentmihalyi, flow adalah suatu keadaan pikiran yang di dalamnya kesadaran manusia berada dalam keadaan teratur dan selaras. Dan itu dapat dicapai lewat 'pengendalian diri' dan 'pengendalian hidup'.

Dalam komunikasi, keadaan ini menjadi salah satu tujuan utama. Sebab, jika tidak, maka penyampaian pesan dianggap gagal, karena komunikasi yang dilakukan tidak berhasil membuat orang merasa senang atau bahagia.

Dan itu bukan saja fenomena ketika kita berkomunikasi dengan sesama manusia, melainkan saat kita 'berbicara' dengan alam semesta, dan dengan Tuhan, Pencipta Manusia dan Alam Semesta.

Itu sebabnya, para pakar komunikasi yang memahami agama dan psikologi percaya, bahwa komunikasi dengan Tuhan saat kita mengendalikan diri waktu puasa akan menciptakan flow yang kita harapkan.

Mihaly mengatakan bahwa, di antara ciri keadaan flow adalah ketika kita masuk dalam kondisi konsentrasi yang lebih dalam (pikiran yang fokus), perasaan memiliki kendali penuh atas segala sesuatu, dan menganggap saat 'sekarang' sebagai satu-satunya hal yang penting.

Saat berada dalam flow itu lazimnya orang merasa tidak lagi terpengaruh pada dimensi waktu --  yang sering (dalam keadaan biasa) menginterupsi perjalanan kehidupan kita.

Saat itu, kita tak lagi mementingkan diri (ego)-nya, karena sirnanya batasan-batasan individual kita. Dan itu amat serupa dengan kondisi saat kita 'kembali menjadi fitri', berkat latihan mengendalikan diri (ego) selama Ramadan lalu.

Tentu komunikasi hamba dengan Tuhan bukan saja saat puasa, melainkan terus menerus sepanjang hidupnya. Salah satu bentuk komunikasi lain antara kita dengan Tuhan adalah saat salat. Ajaran Islam menyatakan bahwa, jika hendak berbicara kepada Tuhan salatlah; dan jika hendak mendengar apa yang dibicarakan Tuhan bacalah Al Quran.

Nah, menurut Mihaly, cara 'meditasi' (seperti salat) itu sangat berperan menelurkan keadaan flow tadi.

Mihaly berpendapat bahwa berbagai cara meditasi Timur, termasuk yoga, dan berbagai praktik dalam Buddhisme dan Taoisme, sebagaimana tasawuf, telah dipakai untuk mencapai keadaan itu. Menurutnya, hal itu terbukti berhasil, karena pelakunya 'mampu mengendalikan diri dari pengaruh atau sejumlah gangguan dari luar dirinya.

Sejumlah sumber sejarah menduga bahwa Michelangelo mungkin saja melukis atap Gereja Vatikan ketika ia sedang flow. Dikatakan bahwa ia melukis selama berhari-hari tanpa henti, dan ia telah begitu terabsorbsi pada pekerjaannya sehingga lupa makan dan tidur, sampai pingsan.

Boleh jadi flow juga berkait dengan keterbukaan diri dan komunikasi yang tulus (genuine communication).

Menurut Carl Rogers, lewat karya yang belakangan disebut sebagai 'Kekuatan Ketiga' (Third Force) dalam psikologi, "tujuan komunikasi adalah pemahaman yang akurat tentang diri sendiri dan pihak lain, dan bahwa pemahaman hanya bisa terjadi melalui komunikasi yang tulus."

Guna mendapat 'pemahaman diri' perlu proses 'pembukaan diri' (self-disclosure), memberi feedback, dan peka terhadap keterbukaan pihak lain. Jika tidak, akan muncul kesalahpahaman dan kekecewaan (dissatisfaction) dalam relationship kita dengan pihak lain, akibat ketidakjujuran, kurang konkruen-nya perasaan dan tindakan, kurangnya feedback, dan menahan diri untuk bersikap terbuka (transparan).

Meski para ahli -- yang mengembangkan teori di atas dalam pendekatan psikologi humanistik -- itu tidak membahas hal-hal di atas dalam kaitan khusus dengan meditasi atau solat, tetapi secara logis kita bisa menganalogikannya begini: saat orang solat secara serius dan khusyu' sudah pasti ia membuka diri kepada Tuhan. Ia bersikap transparan, mengakui kekurangan diri, dan melalukan genuine communication. Dari situlah antara lain, ia memperoleh satisfaction, kepuasan.

Ia, misalnya mengakui bahwa dirinya dan segala yang ada selain tuhan hanya kecil belaka. Tuhan saja yang Maha Besar -- dan segala kenikmatan (atau kesulitan) hidup, diri pribadi, keluarga, harta benda, dan semua yang ada di lingkungannya tidak ada artinya sama sekali dibanding keagungan-Nya. 

Dengan kata lain, pelaksana salat yang baik mestinya memiliki perasaan yang konkruen dengan perilakunya. Sejatinya memang demikian, salat yang dilakukan secara khusyu' dapat menciptakan ciri-ciri yang menandai keadaan flow, bahkan secara lebih efektif.

Sejatinya, manusia bisa melatih dirinya untuk memutuskan hanya fokus pada apa yang ingin diperhatikannya. Maka, ketika seseorang dalam keadaan flow, ia tercerap sepenuhnya dalam satu task yang dijalaninya, dan  tanpa sengaja ia kehilangan awareness-nya terhadap segala sesuatu yang lain: waktu, orang lain, distractions, dan bahkan kebutuhan dasar tubuhnya.

Ini terjadi karena semua perhatian orang itu berada dalam keadaan flow; sehingga tidak ada lagi 'ruang' bagi soal lain untuk dialokasikan saat itu.

Para ahli juga menyimpulkan bahwa sebagai suatu bentuk zikir, salat juga memiliki pengaruh positif terhadap upaya pencegahan dan penyembuhan dari berbagai penyakit yang biasanya dikaitkan dengan ketidaktenteraman dan kekurangbahagiaan, seperti penyakit jantung, stroke, stres, depresi, dan sebagainya.

Salah seorang ahli itu adalah pakar kedokteran Harvard University dan pendiri Body- Mind Institute Dr. Herbert Benson. Menurut Benson, meditasi serta pembacaan mantra  -- yang dibaca dalam kerangka keimanan atau sebagai wujud ajaran agama -- memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dalam mendatangkan ketenangan dan mengatasi berbagai penyakit tubuh dan kejiwaan yang menghalangi terciptanya kebahagiaan hidup.

Walhasil, pasca-Ramadhan ini semestinya kita akan makin bahagia. Bukan saja karena lebih efektif berkomunikasi dengan (dan membantu) orang-orang yang lemah, melainkan juga karena berhasil dalam komunikasi dengan Tuhan, berkat makin tingginya kemampuan mengendalikan diri dari pengaruh atau gangguan-gangguan eksternal diri.

 Selamat berbahagia dalam flow yang indah.

 *) Syafiq Basri Assegaff: Konsultan Komunikasi, pengajar di Universitas Paramadina dan The London School of Public Relations, Jakarta. Twitter: @sbasria. [mor]