INILAHCOM, Jakarta - Analis belum merekomendasikan positif saham-saham di sektor properti untuk trading jangka pendek. Yang kinerjanya kinclong pun, harga sahamnya sudah terfaktorkan alias overpriced.
Asep Muhammad Saepul Islam, Pendiri Syariahsaham.com mengatakan, di Bursa Efek Indonesia, terdapat 68 emiten yang tergabung dalam sektor properti dan konstruksi.
"Dari 68 emiten tersebut, 52 di antaranya dikategorikan sebagai emiten properti real estate, dan 16 sisanya masuk ke dalam subsektor konstruksi bangunan," katanya kepada INILAHCOM di Jakarta, Rabu (29/8/2018).
Per 16 Agustus 2018, kapitalisasi pasar (jumlah perkalian lembar saham dengan harga terakhir) sektor properti konstruksi mencapai Rp374 triliun, atau "hanya" 5,74% dari total kapitalisasi BEI terbaru (Rp6.519 triliun)
Dari Rp374 triliun tersebut, Rp270,3 triliun (72,2%) disumbang oleh sektor properti dan sisanya 27,8% dari subsektor konstruksi bangunan.
Setelah mencermati kinerja selama enam bulan pertama tahun 2018 diperoleh data bahwa hanya 29 emiten syariah di sektor properti yang membukukan kenaikan penjualan.
"Jika ditelusuri lebih mendalam, maka hanya ada 18 emiten yang mencetak kenaikan laba bersih di sepanjang semester pertama tahun ini," ujar Mang Amsi, panggilan akrabnya.
Setelah mempertimbangkan sisi likuiditas transaksi, kata dia, hanya dua saham properti yang menorehkan kinerja lumayan dibandingkan yang lainnya. "Kedua saham tersebut adalah Pakuwon Jati Tbk (PWON) dan PP Properti Tbk (PPRO)," ucapnya tandas.
PWON misalnya, perusahaan properti yang terkenal dengan Tunjungan Plaza ini mencetak penjualan sebesar Rp3,38 triliun, naik 14,45% dari periode tahun lalu sebesar Rp2,96 triliun. Penjualan ini juga berimbas pada kenaikan laba sebesar 25,40% dari Rp900,5 miliar tahun lalu menjadi Rp1,13 triliun tahun ini.
Demikian halnya dengan PPRO. Anak usaha dari perusahaan BUMN konstruksi PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) ini membukukan penjualan sebesar Rp. 1,18 triliun, naik 12,71% dari Rp. 1,05 triliun tahun lalu. Laba bersih pun terkerek 12,14% dari Rp 160,5 miliar menjadi Rp. 180,1 miliar di periode yang sama tahun ini.
Kinerja kedua emiten syariah di atas berimbas pada rasio keuangan masing-masing. PWON memiliki rasio utang terhadap ekuitas (DER) sebesar 0,78 kali, marjin laba bersih (NPM) 33,44%, dan imbal hasil laba terhadap ekuitas (ROE) 16,42%.
Sementara itu, dengan kinerja yang disebutkan di atas, PPRO memiliki DER 1,68 kali, NPM 15,23% dan ROE 6,79%.
Dengan capaian ekuitas dan laba selama semester pertama ini dibandingkan harga terakhir Kamis (16/8/2018) lalu, PWON diperdagangkan dengan rasio laba bersih per saham terhadap harga (PER) sebesar 10,77 kali dan rasio harga terhadap nilai buku (PBV) sebesar 2,18 kali. Sedangkan PPRO diperdagangkan dengan rasio PER 21,92 kali dan PBV 1,62 kali.
Dari data tersebut, terlihat bahwa keduanya sudah diperdagangkan di atas nilai bukunya dan ini berarti bisa dikatakan bahwa PWON dan PPRO sudah mulai overpriced. "Terlebih lagi beberapa sentimen negatif terkait properti sudah mulai berimbas pada kinerja perusahaannya, semisal suku bunga yang dinaikkan dan juga kurs Rupiah yang terus melemah," papar dia.
Oleh karena itu, untuk koleksi jangka pendek, saham-saham properti belum direkomendasikan. "Silakan cermati kembali prospek masing-masing emiten syariah di sektor properti untuk lebih mendapatkan analisis mendalam dan komprehensif," imbuhnya. [jin]