Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Kang Emil) diminta untuk mencarikan pekerjaan yang pas untuk Muhammad Sabil, guru honorer SMK asal Cirebon yang dipecat setelah mengkritik orang nomor satu di Jabar itu. Permintaan tersebut datang dari Dedi Haryadi, Koordinator Beyond Anti Corruption (BAC).
Menurut Dedi, saat ini masyarakat Jawa Barat harus memprotes langkah pemecatan terhadap Sabil. “Meski Ridwan Kamil mengklaim ia tak memiliki kewenangan di sekolah swasta, namun jabatan politis yang dimilikinya bisa memulihkan hak dan kewajiban Sabil,” kata Dedi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Jika Sabil tak bisa lagi memiliki pekerjaannya lagi, sambung dia, harusnya Ridwan Kamil bisa mencarikan posisi yang pas buat dia.
“Kalau sampai Sabil kehilangan pekerjaan, maka Ridwan Kamil sebagai pemimpin yang zalim. Publik bisa kehilangan kepercayaannya kepada Ridwan Kamil jika ia melakukan kezaliman. Bisa jadi elektabilitasnya yang saat ini cukup baik akan terperosok,” timpal Dedi mewanti-wanti.
Sejauh ini pemecatan tersebut masih menjadi polemik di masyarakat. Meski Kang Emil sudah membuat klarifikasi, namun menurutnya tetap harus bertanggung jawab atas Direct Message (DM) Instagram ke akun sekolah SMK Telkom Sekar Kemuning, Kota Cirebon.
Menurut Dedi, pangkal permasalahan yang membuat Sabil melayangkan kritik kepada Ridwan Kamil karena saat melakukan zoom dengan murid SMPN 3 Kota Tasikmalaya, ia menggunakan atribut milik partai.
Seharusnya ketika Sabil mengkritik pimpinan atau pejabat dengan valid dan mendasar, menurut Dedi, ia tak harus kehilangan pekerjaannya. Langkah Ridwan Kamil yang melakukan DM Instagram kepada Sabil dan pihak sekolah dinilai Dedi berlebihan.
Dengan melakukan DM dan membuat Sabil kehilangan pekerjaan, dinilai Dedi merupakan langkah zalim dan keliru. Dedi melihat DM yang dilakukan Ridwan Kamil tersebut bukan lagi mencerminkan pemimpin mau dikritik. DM tersebut merupakan langkah pembalasan atau ketidaksukaan Ridwan Kamil terhadap kritik yang dilontarkan Sabil.
Langkah tersebut dinilainya justru bertentangan dengan jargon Ridwan Kamil yang selama ini mau menerima kritik dari masyarakat. Menurut Dedi wajar saja jika Sabil mengkritik Ridwan Kamil saat itu.
Sebab, pada saat zoom dengan murid SMPN 3 Kota Tasikmalaya, ia menggunakan atribut mirip dengan partai Golkar. Jas kuning yang biasa dipergunakan oleh kader partai Golkar.
Dedi menilai langkah Kang Emil yang menggunakan jas mirip Partai Golkar tersebut seperti hendak melakukan kampanye. Apa lagi dia saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Penggalangan Pemilih Partai Golkar.
“Motif menggunakan jas kuning ini sudah pasti politik untuk mendapatkan dukungan suara. Sehingga valid dan sah kritik dari Sabil. Harusnya ketika menghadiri acara kedinasan, pakaian yang dipakai tak boleh menggambarkan salah satu partai. Kalau dia menggunakan pakaian dinas atau pakaian pada umumnya, mungkin masalah ini tak akan terjadi. Ridwan Kamil tak memiliki etika ketika melakukan zoom meeting tersebut. Seharusnya ketika acara kedinasan apa lagi di sekolah, seharusnya dia tak boleh menggunakan atribut partai. Jadi menurut saya masalah utamanya ada di Ridwan Kamil sendiri,” timpal Dedi.
Dedi pun mengaku prihatin dengan bergesernya narasi menjadi penggunaan kalimat ‘maneh’ yang Sabil tuliskan dalam kolom komentar akun Instagram Ridwan Kamil. Padahal esensi kritik yang dilontarkan Sabil ke Ridwan Kamil sangat penting dan krusial.
Yaitu, sambung dia, Ridwan Kamil tak memiliki etika, tidak memiliki kepatutan, tidak netral ketika menghadiri acara kedinasan. Harusnya sebagai Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil bisa memberi contoh yang baik tentang mentalitas yang benar sebagai pemimpin.
“Justru saat ini isunya bergeser ke cara Sabil bertanya. Penggunaan kalimat ‘maneh’ bisa menjadi perdebatan yang panjang. Sebagian besar orang Cirebon atau Pantura biasa menggunakan kalimat ‘maneh’. Menurut sebagian besar masyarakat Sunda di Pantura, ini tidak kasar. Sebab ini menyangkut dialek sebagian besar masyarakat Sunda di Pantura. Berbeda dengan masyarakar Periangan tengah atau selatan. Ini sama kaya penggunaan kata bahasa Jawa krama inggil dan bukan.Jika bahasa Pantura diframing ke Periangan tidak tepat. Sehingga masalah sopan atau tidak itu bisa diperdebatkan,” imbuh Dedi.
Tinggalkan Komentar