Kekacauan di Sri Lanka semakin dalam setelah Presiden Gotabaya Rajapaksa melarikan diri. Negara kecil di Samudera Hindia itu bergulat dengan inflasi, kekurangan pangan dan bahan bakar, serta utang. Warga menyalahkan elit politik negara itu. Bagaimana peran militer negara itu?
Negara berpenduduk 22 juta orang itu berada dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuk sepanjang sejarah negara itu merdeka pada 1948. Tiga bulan terakhir, negara ini tenggelam jauh ke dalam kelesuan ekonomi. Inflasi berjalan di lebih dari 50 persen dan diperkirakan terus meningkat. Sri Lanka kehabisan devisa untuk membiayai impor kebutuhan dasar seperti makanan, bahan bakar, dan obat-obatan serta gagal membayar utang luar negerinya.
Warga negara kecil di Samudra Hindia itu menilai apa yang terjadi adalah gara-gara salah urus para pemimpinnya serta korupsi yang merajalela. Karena itu warga sempat melampiaskan kemarahannya itu dengan menduduki istana presiden.
Gotabaya Rajapaksa pun melarikan diri dari negaranya setelah rumahnya dikepung massa yang protes akibat krisis ekonomi di negara itu yang semakin parah. Awalnya dia melarikan diri ke Maladewa, namun tidak betah karena sejumlah warga ekspatriat asal Sri Lanka berunjuk rasa di sana. Dia kemudian kabur ke Singapura sebagai negara persinggahannya.
Rajapaksa sudah mengirim surat pengunduran diri sebagai Presiden Sri Lanka ke parlemen. Kini parlemen Sri Lanka kini tengah mempersiapkan pemilihan Presiden yang baru. Kekosongan jabatan kepala negara yang saat ini terjadi, menjadikan Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe rangkap jabatan sementara.
Wickremesinghe telah dilantik sebagai penjabat presiden di tengah krisis ekonomi dan kerusuhan. Di bawah konstitusi Sri Lanka, perdana menteri akan menggantikan tampuk pimpinan bila presiden mundur.
Peran Militer
Ada yang menarik dalam perkembangan krisis di Sri Lanka ini yakni dari sisi hubungan politik dan militer. Di banyak negara jika berada dalam situasi krisis seperti Sri Lanka, biasanya militer yang turun untuk campur tangan. Demikian pula di Sri Lanka. Dalam situasi ini, peran tentara akan menjadi fokus yang tajam. Sri Lanka memberikan kekuasaan darurat kepada militer dan polisi untuk menahan warga tanpa surat perintah. Keputusan itu diambil setelah bentrokan yang menewaskan tujuh orang dan melukai lebih dari 200 orang.
Militer dapat menahan orang hingga 24 jam sebelum menyerahkannya ke polisi. Aturan itu juga membuat petugas keamanan dapat menggeledah paksa properti pribadi, termasuk kendaraan pribadi.
Ada laporan bahwa pasukan menembaki pengunjuk rasa saat mereka menyerbu istana presiden, tetapi panglima militer bersikeras bahwa mereka hanya menembak ke udara dalam upaya menjaga ketertiban.
Mungkinkah Militer Ambil Alih Kekuasaan?
Banyak yang bertanya apakah tentara akan turun tangan untuk menjalankan pemerintahan di Sri Lanka, setidaknya sampai ketertiban dapat dipulihkan dan pemerintahan baru terbentuk. Ini yang menarik, karena Sri Lanka dinilai pengamat sebagai sesuai yang unik tidak seperti Mynmar, dengan rezim militernya mengambil alih kekuasaan pemerintahan.
Intervensi militer dan polisi memang terjadi di Sri Lanka untuk dapat memulihkan ketertiban di jalan-jalan. Namun, kecil kemungkinan para panglima militer Sri Lanka ingin mengambil bagian langsung dalam pemerintahan. Amalendu Misra adalah Profesor Politik, Filsafat dan Agama di Universitas Lancaster mengungkapkan dua alasan kemungkinan kecil militer berkuasa di pemerintahan Sri Lanka.
“Ada dua alasan untuk ini. Yang pertama adalah budaya. Sri Lanka pernah tunduk pada aturan oleh militer pada tahun-tahun perang saudara etnis antara 1983 dan 2009,” katanya seperti terungkap dalam The Conversation.
Namun, terlepas dari peran besar yang dimainkan militer, Sri Lanka harus melewati tahun-tahun penuh kesulitan, disertai pelanggaran hak asasi manusia selama perang saudara itu. Karenanya, orang-orang Sri Lanka tetap berpegang teguh pada pemerintahan sipil demokratis. Hal ini pernah diuji saat terjadi upaya kudeta militer pada tahun 1962 dan 1966 dan lagi pada tahun 1991, tetapi semua ini digagalkan oleh pemerintah sipil.
Alasan lainnya menurut Amalendu adalah ekonomi. Masalah utama yang dihadapi Sri Lanka adalah akibat dari salah urus ekonomi dan korupsi. Pemerintahan baru perlu segera mengamankan pinjaman internasional atau bentuk dukungan lain untuk menstabilkan ekonomi dan melanjutkan impor makanan dan bahan bakar. Ini hanya dapat dimungkinkan dengan pemimpin sipil yang memiliki kemampuan negosiasi semacam itu.
Masalah yang akan dihadapi pemerintah militer adalah bahwa tentara masih didiskreditkan di mata masyarakat internasional sebagai akibat dari pelanggaran hak asasi manusia massal yang dilakukan selama perang saudara melawan separatis Tamil di negara itu.
Jika seorang jenderal angkatan darat mengambil alih kekuasaan sekarang, Sri Lanka akan menjadi paria, dan hampir tidak mungkin untuk meningkatkan investasi asing yang sangat dibutuhkannya. Sri Lanka butuh sosok pemimpin yang mampu menegosiasikan pinjaman dari lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Dan itu tidak akan ditemukan pada sosok seorang militer.
Rakyat berharap peran Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe yang rangkap jabatan sementara menjadi presiden dapat menjalankan fungsi ini untuk memulihkan perekonomian. Meskipun warganya masih menilai ia bagian dari pemerintahan Rajapaksa.
Wickremesinghe telah mengumumkan paket reformasi yang dirancang untuk menstabilkan ekonomi dan berencana untuk menyajikan rencana restrukturisasi utang kepada IMF pada Agustus nanti.
Tinggalkan Komentar