INILAH.COM, Jakarta - Kalangan pengamat meragukan realisasi evaluasi seluruh kontrak karya oleh pemerintah. Untuk kontrak karya yang berkeadilan, harus menjadikan negara-negara maju sebagai benchmark.
Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto mengaku tidak mengerti apa maksud dan konteks disuarakan kembali soal evaluasi dan negosiasi kontrak karya. Menurutnya, isu ini merupakan perbincangan lama.
Tapi, lanjutnya, tak ada angin tak ada hujan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyuarakannya kembali. Dia terus terang, masih meragukan realisasinya. “Tapi, dari sisi substansinya, berbagai kontrak karya (KK) memang harus diaudit, dievaluasi dan direnegoisasi,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (10/6).
Dia menjelaskan, tarif royalti kontrak karya di Indonesia terlalu rendah hanya berkisar 1-3,5%. Itupun dikenakan terhadap penerimaan bersih dan bukan terhadap penerimaan kotor. “Artinya sudah dikurangi berbagai biaya sehingga porsi untuk negara sangat kecil,” ujarnya.
Padahal, lanjutnya, dalam kontrak karya, yang digunakan adalah sistem konsesi yakni penyerahan wilayah untuk dikelola kontraktor sehingga pengawasannya lemah. “Karena pengawasannya lemah dan tarif royalti dikenakan pada penerimaan bersih, yang didapat negara akan sangat rendah,” timpal Pri Agung.
Sementara itu, untuk kontrak karya pertambangan umum, yang diterima negara tidak lebih dari 20% dan 80% untuk kontraktor dari nilai penjualan. Sedangkan pertambangan minyak dan gas (migas) 50% untuk pemerintah dan 50% untuk kontraktor. Artinya, penerimaan negara dari pertambangan umum jauh tidak optimal. “Migas, sudah relatif lebih baik dibandingkan pertambangan umum,” ucapnya.
Karena itu, Pri Agung menyarankan, jika kontrak karya itu akan di-benchmark dengan negara lain, jangan dibandingkan dengan negara Afrika yang kondisinya sama-sama dieksploitasi dengan Indonesia dan Papua Nugini. “Jika mengunakan royalti harus mengacu ke negara-negara maju seperti AS dan Eropa,” ucapnya.
Negara-negara maju menerapkan tarif royalti 20-30% terhadap penerimaan kotor seperti di Inggris, Belanda dan Nowegia. “Ini sangat berbeda jauh dengan tarif royalti di Indonesia yang hanya 1-3,5% dari penerimaan bersih,” tukasnya.
Tapi, imbuhnya, Indonesia juga, tidak bisa dibandingkan dengan Venezuela yang posisi tawarnya jauh lebih kuat dibandingkan Indonesia. “Sebab, sumber daya terutama minyak dan gas di Venezuela jauh lebih melimpah,” ungkapnya.
Karena itu, dia menegaskan, jika kontrak karya ingin berkeadilan, harus menjadikan negara-negara maju tadi sebagai benchmark dari sisi tarif royalty. “Jadi, dengan tarif royalti 20% ditambah pajak, nilainya akan sama dengan bagi hasil migas Indoneisa (50%:50%). Saat ini, tarif royalti hanya 1% untuk Freeport, emas 1% dan perak bisa 1-3,5% tergantung harganya,” imbuhnya.
Presiden Yudhoyono telah meminta jajarannya segera melakukan evaluasi terhadap seluruh Kontrak Karya (KK) yang ada di Indonesia. “Saya tidak akan menyalahkan masa lalu, bisa jadi dulu memang kita sangat memerlukan investasi untuk industri kita. Barangkali bargaining position kita juga tidak sekuat sekarang, maka terjadilah kontrak itu. Tetapi manakala kontrak itu sangat menciderai rasa keadilan dan tidak logis, ada pintu untuk renegosiasi ulang,” kata SBY di Kantor Presiden.
Pemerintah kata SBY, akan intensif melakukan evaluasi seluruh kontrak-kontrak yang dirasa merugikan negara. SBY meminta, bila hasil audit menyatakan bahwa kontrak karya yang terjadi ternyata menguntungkan sekelompok pihak dan merugikan banyak pihak lainnya, jangan sampai terjadi lagi.
Sebelumnya, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan juga mengatakan, saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kementerian ESDM dan Pemerintah Provinsi di seluruh Indonesia untuk mendata perusahaan pertambangan.
Sebab, menurut Menhut, sesuai yang dilaporkan Kementerian ESDM, bahwa dari sekitar 8.000 usaha pertambangan yang beroperasi, hanya sekitar 3.000 yang memiliki izin. “5.000 lainnya bermasalah pada perizinan, tumpang tinduh kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan kehutanan. Ini yang ingin kita tata ulang kembali,’’ tegas Zulkifli. [mdr]